Penulis oleh Hajrin Radja

Halselpos.com, Labuha–“Hidup Bukan Sekadar Rasa”
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Ada kalanya manusia tertawa, lalu mengira itulah puncak kebahagiaan. Ada kalanya manusia menangis, lalu mengira itulah jurang kesengsaraan. Padahal, baik tawa maupun tangis hanyalah wajah sementara dari kehidupan, bukan hakikatnya.

Betapa sering orang terlena oleh rasa senang yang memabukkan, mengira dirinya telah menemukan surga dunia, lalu lupa bahwa di balik senyum ada luka yang menunggu untuk berkunjung. Betapa sering pula orang terpuruk dalam rasa susah yang menyesakkan, mengira dirinya telah dikutuk dunia, padahal sesungguhnya dı balık derita ada pintu rahmat yang hendak dibuka.

Rasa senang menipu dengan kelembutannya, rasa susah menipu dengan kejamnya Yang satu menjanjikan keabadian padahal fana, yang lain menghadirkan kegelapan padahal hanyalah lorong menuju cahaya. Manusia yang menilai hidup hanya dari rasa, ibarat musafir yang membaca peta hanya dari warna, bukan dari arah. la tersesat karena mengira warna hijau berarti dekat, padahal jalan masih jauh; ia berputus asa karena melihat warna gelap, padahal di sana ada jalur keluar.

Bukankah banyak yang tenggelam dalam pesta, lalu lupa akan makna perjalanan hidup? Mereka tertawa seakan dunia akan selalu menyuguhkan kemewahan. Tapi ketika senang pergi, mereka baru tahu: kebahagiaan bukanlah soal memiliki, melainkan soal mengerti. Demikian pula dengan mereka yang berkubang dalam susah, menangisi nasib, menyalahkan takdir. Mereka lupa susah hanyalah cambuk lembut agar jiwa tak tertidur dalam kelalaian. bahwa rasa

Hidup ini bukan tentang mengejar senang dan lari dari susah. Hidup ini adalah tentang berjalan dengan sadar, menatap segala rasa dengan mata batin yang jernih. Senang bukan kemenangan, susah bukan kekalahan. Keduanya hanyalah guru, yang datang silih berganti, menguji kematangan hati.

Rasa senang seharusnya mengajarkan syukur, bukan lupa diri. Rasa susah seharusnya melahirkan tawakal, bukan putus asa. Tapi sering manusia terjebak di permukaan: ketika senang, ia terperangkap dalam nafsu; ketika susah, ia terkubur dalam keluh kesah. Padahal di balik keduanya ada pesan Ilahi: “Jangan menilai hidup dari manis atau pahitnya rasa, tapi dari bagaimana engkau belajar dan bertumbuh darinya.”

Air mata yang jatuh di kala susah bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda bahwa hati masih hidup. Senyum yang terukir di kala senang bukanlah tanda kemenangan, melainkan tanda bahwa jiwa masih diberi kesempatan merasakan nikmat. Yang tertipu adalah mereka yang berhenti di sana, yang mengira rasa adalah akhir, padahal rasa hanyalah perantara.

Sesungguhnya hidup ini adalah perjalanan panjang, di mana rasa hanyalah penanda jalan. Ada yang berwarna indah, ada yang kelam. Tapi bukan warna yang menentukan, melainkan langkah yang terus melangkah. Bila senang membuatmu berhenti, engkau tersesat. Bila susah membuatmu berhenti, engkau terjebak. Maka yang sejati adalah tetap berjalan, menembus senang dan susah, hingga sampai pada makna hidup yang hakiki: kerelaan, kepasrahan, dan perjumpaan dengan Sang Pemilik Rasa.

Sebab pada akhirnya, senang dan susah akan sama-sama pergi. Yang tertinggal hanyalah hati yang mengerti, bahwa hidup bukanlah tentang apa yang dirasa, melainkan tentang bagaimana jiwa meresapi dan menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Menggenggam.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *