Halselpos.com, Labuha–Dunia pers di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) kembali tercoreng oleh ulah segelintir oknum. Seorang wartawan media online globalnetizen.id, bernama Haris, diduga melakukan pemerasan terhadap seorang guru di SDN 246 Gilalang setelah menulis pemberitaan yang dinilai tidak berimbang dan merugikan pihak guru.
Dugaan Pemerasan Bermula dari Berita Sepihak
Kasus ini bermula dari tayangnya sebuah artikel berjudul “Skandal di SDN 246 Gilalang: Guru Jarang Masuk Kelas, Kuasai Rumah Dinas, Kepala Sekolah Terlantar”. Berita tersebut menuding seorang guru bernama Ati Din tanpa konfirmasi dan tanpa memberikan ruang hak jawab.
Merasa dirugikan, pihak guru menyampaikan keberatan dan meminta hak jawab sesuai amanat Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Namun, bukannya memberikan ruang klarifikasi, sang jurnalis justru diduga meminta uang sebesar Rp1,5 juta agar persoalan tersebut bisa “diselesaikan” dengan menghapus berita.
“Kalau jurnalis tersebut tidak memberikan hak jawab terhadap korban, maka kami akan melaporkannya ke Dewan Pers dan pihak kepolisian. Apalagi, selain mengabaikan hak jawab, ia juga diduga melakukan pemerasan,” tegas salah satu keluarga Ati Din kepada Halsselpos.
Pelanggaran Etik dan Dugaan Tindak Pidana
Dunia pers memiliki aturan jelas. Hak jawab adalah hak konstitusional narasumber. Pasal 1 angka 11 UU Pers menegaskan media wajib memberikan kesempatan klarifikasi kepada pihak yang dirugikan. Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik juga menegaskan wartawan wajib melayani hak jawab.
Dengan demikian, tindakan mengabaikan hak jawab bisa dikategorikan sebagai pelanggaran etik. Sedangkan permintaan uang, jika benar terjadi, masuk ke ranah pidana karena dapat dikategorikan sebagai pemerasan.
Pengamat media lokal menilai, praktik semacam ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan pers. “Jika benar ada pemerasan, ini bukan hanya merugikan individu, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap media dan wartawan,” ujar salah satu aktivis literasi media di Labuha.
Bantahan dari Pihak Jurnalis
Menanggapi tuduhan tersebut, Haris membantah keras telah melakukan pemerasan. Ia menyebut hanya mengirimkan nomor rekening perusahaan setelah pihak guru sendiri yang meminta agar berita dihapus.
“Silakan pihak bersangkutan tunjukkan bukti. Justru Ibu Ati yang meminta agar beritanya dihapus dan meminta nomor rekening. Saya hanya mengirimkan rekening perusahaan, bukan rekening pribadi,” ujar Haris saat dikonfirmasi terpisah.
Namun, bantahan itu tidak menghapus fakta bahwa hak jawab tetap tidak diberikan hingga kini, sehingga sengketa pemberitaan ini tetap menjadi persoalan serius.
Sorotan Publik: Pers Jangan Jadi Alat Menekan Rakyat
Kasus ini menuai perhatian luas dari masyarakat dan kalangan pendidik. Banyak yang menilai tindakan oknum wartawan tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan profesi yang tidak bisa dibiarkan.
“Kalau ada masalah dalam pemberitaan, wartawan seharusnya menempuh jalur klarifikasi, bukan meminta uang. Kalau seperti ini, publik bisa kehilangan kepercayaan pada pers,” ungkap salah satu tokoh pendidikan di Halsel.
Publik menuntut Dewan Pers dan aparat penegak hukum turun tangan. Jika dugaan pemerasan terbukti, maka harus ada sanksi tegas baik secara etik maupun pidana. Hal ini penting agar tidak ada lagi oknum wartawan gadungan yang berlindung di balik kartu pers untuk mencari keuntungan pribadi.
Profesi Wartawan Harus Dijaga
Wartawan adalah profesi mulia. Dalam UU Pers, pers diakui sebagai pilar keempat demokrasi dengan fungsi menyampaikan informasi, mendidik masyarakat, serta melakukan kontrol sosial. Dengan tanggung jawab sebesar itu, wartawan dituntut menjaga integritas, independensi, dan profesionalisme.
Namun jika profesi ini justru digunakan untuk memeras narasumber, maka marwah pers runtuh. Karena itu, kasus ini harus dijadikan pelajaran penting bahwa wartawan diharamkan melakukan pemerasan dalam bentuk apapun.
Memalukan! Wartawan tidak boleh menjadi pemeras. Pers adalah pilar demokrasi, jangan biarkan runtuh hanya karena segelintir oknum yang menggadaikan idealisme demi uang haram. (Red)