Halselpos.com, Labuha–Wartawan seharusnya mencari kebenaran, menguji informasi, dan menyampaikan berita secara adil. Tapi apa jadinya jika wartawan justru menjadikan narasumber sebagai korban pemerasan? Itu bukan lagi jurnalisme, melainkan kejahatan yang mencoreng wajah pers.
Kasus dugaan pemerasan terhadap seorang guru di SDN 246 Gilalang oleh oknum jurnalis di Halsel adalah contoh paling memalukan. Bagaimana mungkin profesi yang mulia dijadikan alat untuk menekan rakyat kecil demi sejumlah uang?
Lebih ironis, pemerasan ini dibungkus dengan dalih pemberitaan. Berita ditulis tanpa konfirmasi, tanpa keseimbangan, bahkan cenderung menghakimi. Saat pihak yang dirugikan meminta hak jawab, justru diminta “uang damai”. Ini jelas perbuatan kotor yang tidak bisa ditoleransi.
Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik sudah tegas: wartawan wajib berimbang, independen, dan melayani hak jawab. Jika melenceng, itu pelanggaran etik. Jika sampai memeras, itu pidana. Titik.
Oknum seperti ini bukan hanya mempermalukan diri sendiri, tetapi juga menyeret nama baik seluruh wartawan. Publik bisa kehilangan kepercayaan, padahal mayoritas jurnalis bekerja sungguh-sungguh menegakkan kode etik.
Memalukan! Wartawan tidak boleh menjadi pemeras. Dewan Pers dan aparat hukum harus bertindak tegas. Jangan biarkan profesi mulia ini rusak gara-gara ulah segelintir orang yang menggadaikan idealisme demi uang haram.
Pers adalah pilar demokrasi. Jangan sampai runtuh hanya karena wartawan lupa diri. (Red)